TEMPO.CO, Jakarta – Krisis di Filipina Selatan dipicu oleh penyerangan pasukan bersenjata Moro National Liberation Front (MNLF) ke Kota Zamboanga sejak 9 September 2013 lalu, dan belum berakhir hingga hari ini. Sebagai tetangga dan negara yang pernah memfasilitasi perdamaian antara Pemerintah Filipina dan MNLF, Indonesia berharap krisis itu diselesaikan secara damai.

Indonesia menjadi mediator perjanjian damai MNLF-Filipina sejak 1993, yang kemudian berujung pada disepakatinya perjanjian damai pada 2 September 1996 di Manila, Filipina. Menurut Hassan Wirajuda, mantan Ketua Komite Gabungan Perundingan Damai Filipina-MNLF dan Menteri Luar Negeri RI 2001-2009, kunci kesuksesan mediasi Indonesia saat itu karena kita netral.

Dalam wawancara dengan Abdul Manan dan Natalia Santi dari Tempo di kantornya di Jakarta, 18 September 2013 lalu,  Wirajuda menjelaskan soal awal keterlibatan Indonesia dalam penyelesaian damai Filipina-MNLF, proses menuju perdamaian, dan tantangan yang dihadapi setelah perjanjian damai disepekati. Berikut petikan wawancaranya:

Bagaimana awalnya Indonesia terlibat dalam proses perdamaian MNLF-Pemerintah Filipina?

Masalah Filipina selatan sudah berlangsung selama berabad-abad, sejak masa pendudukan Spanyol hingga Filipina merdeka. Krisis minyak tahun 1972 membuat Filipina berhubungan dengan negara Timur Tengah, khususnya Libya. Filipina pun menerima mediasi Libya, atas nama Organisasi Konferensi Islam (OKI), untuk mencari solusi konflik di Filipina selatan. Proses itu menghasilkan Kesepakatan Tripoli, 23 Desember 1976. Isinya, diterimanya sistem otonomi, tidak lagi ada tuntutan merdeka. Tapi, sejak saat itu sampai 1993, upaya menerjemahkan kesepakatan tidak pernah ditindaklanjuti.

Selama periode 1976-1993, bagaimana situasi di lapangan?

Bentrokan terus terjadi karena tidak ada gencatan senjata. Ketika pemerintah Filipina minta (Indonesia untuk menjadi mediator), kami tidak serta-merta menerima. Kami tidak mau hanya diminta satu pihak. Dalam pertemuan di Cipanas, Jawa Barat, 14-16 April 1993, semua pihak memberi mandat kepada Indonesia.

Kenapa Filipina meminta Indonesia untuk menjadi mediator?

Filipina tahu, dalam OKI, sebagai sesama negara ASEAN, kami netral dan fair. Dalam perundingan, ada tiga tingkatan. Tingkatan pertama, pertemuan resmi yang diketuai Menteri Luar Negeri Ali Alatas, berlangsung empat kali. Tingkatan kedua, komite gabungan. Tingkatan ketiga, komite teknis. Ada 10 kali pertemuan yang saya ketuai di Komite Gabungan. Di tingkat teknis, selama 1993-1996, terdapat 77 kali pertemuan.

Apa pengalaman menarik selama negosiasi?

Pada pertemuan Komite Gabungan Pertama, Desember 1993, di Kota Jolo, Pulau Sulu. Itu kampungnya Nur Misuari. Filipina mengerahkan 6.000 marinir. Di bandara, turun dari pesawat, kami dipersilakan naik truk bak terbuka. Di samping saya, Jenderal Pieter Damanik. Di belakang saya laskar Moro dan marinir Filipina. Pak Pieter bilang ke saya begini, “Kalau ada apa-apa, kamu tahu ke mana harus meloncat.” Karena dia militer, dia khawatir sesuatu terjadi tiba-tiba. Itu kan daerah perang. Saat konferensi pers di Jolo, tampak dalam foto, di belakang saya moncong-moncong senapan M-16.

Apa hasil pertemuan pertama itu?

Menegaskan kembali gencatan senjata, dan pengiriman pasukan perdamaian dari Indonesia. Indonesia mengirim 16 orang, meliputi wilayah selatan yang luas, tapi efektif.

Mengapa bisa efektif?

Karena kepercayaan kedua belah pihak kepada kita. Pertama, kita adalah negara mayoritas muslim, tapi tidak pernah memberi simpati, apalagi dukungan, kepada upaya-upaya Moro atau MNLF untuk merdeka. Kita adalah negara yang sangat konsisten memelihara posisi prinsip penghormatan terhadap keutuhan wilayah dan kedaulatan nasional.

Kedua, kita juga negara yang punya persoalan separatisme. Ketiga, kita juga punya kepentingan yang lebih besar. Sebagai sesama ASEAN, kita ingin Filipina dan negara ASEAN lainnya mampu menyelesaikan konflik bersenjata di negara masing-masing supaya ASEAN pulih sebagai kawasan yang aman dan damai sehingga kita bisa mengalokasikan waktu, energi, dan sumber daya untuk pembangunan ekonomi.

Selama negosiasi 1993-1996, masalah apa yang sulit mencapai kata sepakat?

Masalah pembagian sumber daya. Biasalah, kelompok pembebasan itu mengklaim kaya sumber daya, padahal tidak pernah riset. Bilang di sini ada emas, di sana ada bijih besi. Kita juga tidak tahu. Yang kedua, soal integrasi laskar MNLF ke dalam polisi dan tentara Filipina. Awalnya Filipina ngotot tidak mau menerima. Saya membujuk mereka, demi kompromi, kenapa sih Anda tidak kecualikan? Soal integrasi laskar ini, saya belajar dari kasus pemberontakan Daud Bereuh di Aceh.

Integrasi laskar itu disebut sebagai tahap pertama. Itu berlangsung dengan baik. Yang kedua, masa transisi supaya dalam proses plebisit daerah-daerah di kawasan itu setuju untuk bergabung dalam Autonomous Region in Muslim Mindanao (ARMM).

Presiden Filipina ketika itu, Fidel Ramos, melalui partainya mendorong pendukungnya di daerah Filipina Selatan itu untuk setuju. Lalu terbentuklah ARMM, dengan Nur Missuari sebagai gubernurnya.

Tahap berikutnya setelah integrasi adalah pembangunan ekonomi. Tahapan ini lebih pada upaya mensejahterakan rakyat. Di sinilah mulai ada sengketa. Satu problem dari tim-nya Misuari. Klaim Misuari, dana yang disediakan pemerintah Filipina tidak cukup untuk mensejahterakan rakyat. Tetapi sebagai gubernur, Misuari bisa tinggal empat bulan di Manila di hotel bintang lima dengan 40-50 pengikutnya.

Menurut saya, di banyak kasus, banyak pemimpin faksi pembebasan gagal bertransformasi menjadi administrator yang baik, karena memang tidak punya pengalaman dalam pemerintahan. Jadi kalau saya mencoba berpikir netral, Pemerintah Filipina tentu juga tidak mau melepaskan uang begitu saja (kepada orang yang kurang berpengalaman menangani masalah pemerintahan).

Menurut laporan media, Presiden Benigno Aquino pernah menyebut hasil perjanjian damai tahun 1996 itu sebagai “eksperimen yang gagal’…

Saya tidak tahu ucapan Aquino itu. Tetapi memang ganti pemerintahan, komitmen terhadap kesepakatan juga bisa berkurang.

Dalam konteks hubungan internasional, bagaimana mengatasi krisis di Zamboanga itu?

Itu masalah internal, soal ketertiban umum, dan penegakan hukum. Ini harus dibiarkan sebagai masalah internal dari Filipina, entah dengan dialog, negosiasi, atau gencatan senjata.

(Nur Missuari terpilih dua kali sebagai gubernur ARMM. Namun setelah itu dia dilaporkan bersengketa dengan Komite Eksekutif ARMM yang beranggotakan 10 orang. Setelah tak lagi menjadi gubernur, Missuari kembali ke Pulau Sulu. Saat Filipina masih terikat perjanjian dengan MNLF, Aquino memulai pembicaraan damai dengan Moro Islamic Liberation Front (MILF), organisasi yang menyempal dari MNLF, dan menandatangani kesepakatan awal pada akhir 2012. Kesepakatan baru ini nantinya akan menggantikan ARMM.

Langkah Filipina ini memicu kemarahan Nur Missuari dan menyebut pemerintah Manila tak mematuhi perjanjian tahun 1996. Agustus 2013, Missuari mendeklarasikan kemerdekaan bangsa Moro. Soal perjanjian Filipina-MILF ini pula yang dijadikan sebagai dalih pasukan bersenjata MNLF menyerang Kota Zamboanga 9 September 2013 lalu. Red). 



YOUR COMMENT